Monday, April 28, 2014

Aset dan Kapital Operasional



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Aset dan Kapital Operasional
2.1.1        Harta Aktiva (Asset)
Asset adalah harta yg dimiliki perusahaan yg berperan dalam operasi perusahaan misal kas persediaan aktiva tetap aktiva yg tak terwujud dan lain-lain.
ü  Menurut Accounting Principal Board (APB) Statement (1970:132) dikemukakan bahwa :
“Asset adalah kekayaan ekonomi perusahaan termasuk didalam pembebanan yg ditunda yg dinilai dan diakui sesuai prinsip akuntansi yg berlaku.”
ü  Selanjut Financial Accounting Standard Board (FASB) (1985) memberikan definisi asset sebagai berikut :
“Asset adl kemungkinan keuntungan ekonomi yg diperoleh atau dikuasai di masa yg         akan datang oleh lembaga tertentu sebagai akibat transaksi atau kejadian yg lalu.”
ü  Menurut Harnanto (1991:357) bagi manajemen operating investment (assets) meliputi seluruh mesin dan alat-alat pabrik dan lain-lain equipmen serta modal kerja yg ditempatkan utk dikelola atau dioperasikan dalam usaha perusahaan utk menghasilkan laba.

Berdasarkan definisi tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa sesuatu dianggap sebagai asset jika di masa yg akan datang dapat diharapkan memberikan net cash inflow yg positif kepada perusahaan.
2.1.2        Kapital Operasional
Kapital/ Modal operasional adalah modal yang harus Anda keluarkan untuk membayar biaya operasi bulanan dari bisnis. Contohnya pembayaran gaji pegawai, pulsa telepon bulanan, PLN, air, bahkan retribusi.
Pos-pos dalam modal operasional ini pada setiap bisnis umumnya hampir sama. Ini karena pada prinsipnya, yang dimaksud dengan modal operasional adalah uang yang harus dikeluarkan untuk membayar pos-pos biaya di luar bisnis secara langsung. Jadi, Kapital/modal Operasional ini biasanya dibayar secara bulanan.


2.2  Aliran Kas Bebas
Arus Kas Bebas (Free Cash Flow) adalah sisa perhitungan arus kas yang dihasilkan oleh suatu perusahaan di akhir suatu periode keuangan (kuartalan atau tahunan)—setelah membayar gaji, biaya produksi, tagihan, cicilan hutang berikut bunganya, pajak, dan juga belanja modal (capital expenditure) untuk pengembangan usaha. Sisa uang inilah yang disebut Arus Kas Bebas. Meski dinamankan bebas tapi manajemen tidak bisa sebebasnya menggunakan uang ini karena uang sisa inilah yang bisa digunakan untuk mengembangkan usaha, kalau tidak mengambil dana dari hutang dan sumber dana lainnya.
Free Cash Flow bagi perusahaan merupakan gambaran dari  arus kas yang tersedia untuk perusahaan dalam suatu periode akuntansi, setelah dikurangi dengan biaya operasional dan pengeluaran lainnya.

2.2.1        Penghitungan Arus Kas Bebas
Rumus singkat (dan yang paling mudah) untuk menghitung Arus Kas Bebas adalah berikut:
FCF (Arus Kas Bebas) = Arus Kas dari Operasi – Belanja Modal
Atau
FCF = Pendapatan bersih + Depresiasi (Amortisasi) – Perubahan Working Capital (ΔWC) – Pengeluaran modal.
Misalnya:
Arus kas dari operasional untuk PT A pada tahun 2004 adalah $1.050.000. Pengeluaran modal pada tahun tersebut adalah $700.000. Berapakah arus kas bebas PT A tersebut?
FCF = Arus kas dari operasional – Pengeluaran Modal
FCF = $1.050.000 – $700.000
FCF = $350.000
Jika free cash flow dari perusahaan adalah positif (FCF ≥ 0) maka keuangan perusahaan dalam kondisi yang baik. Jika Free cash flow perusahaan adalah negative (FCF ≤ 0) dan perusahaan harus mengeluarkan saham untuk menambah modal, hal ini akan mengakibatkan berkurangnya keuntungan per saham dari perusahaan tersebut.
Free cash flow merupakan salah satu indicator untuk mengukur kemampuan perusahaan  untuk mengembalikan keuntungan bagi para pemegang saham melalui pengurangan hutang, peningkatan dividen atau pembelian saham kembali

2.3  MVA dan EVA
2.3.1        Nilai tambah pasar (MVA)

     Sasaran utama dari kebanyakan prusahaan adalah untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Sasaran ini sudah pasti akan menguntungkan pemegang saham, tetepi juga akan membantu untuk memastikan bahwa sumber daya yang terbatas telah dialokasikan secara efisien, yang akan memberikan keuntungan pada ekonomi. Kekayaan pemegang saham akan dimaksimalkan dengan meminimalkan perbedaan antara nilai pasar dari saham perusahaan dan jumlah modal ekuitas yang telah diberikan oleh pemegang saham. Perbedaan ini disebut sebagai Nilai Tambah Pasar MVA.

MVA =  Nilai Pasar dari Saham – Ekuitas modal yang diberikan oleh pemegang saham
MVA = (saham beredar)(harga saham) – Total ekuitas saham biasa

Sebagai gambaran, lihat perusahaan contoh kita, Allied Food Products. Pada tahun 2002, total nilai ekuitas pasarnya adalah sebesar $1.150 juta, sedangkan neracanya menunjukkan bahwa saham telah menyetorkan $896 juta. Jadi, MVA Allied adalah sebesar $1.150 - $896 = $254 juta. Jumlah $254 juta ini mencerminkan perbedaan antara uang yang telah diinvestasikan oleh para pemegang saham Allied di dalam perusahaan sejak pendiriannya-termasuk juga laba ditahan –versus kas yang dapat mereka peroleh jika mereka menjual bisnis ini. Semakin tinggi MVA, semakin baik pekerjaan yang telah dilakukan oleh para manajer bagi pemegang saham perusahaan.
2.3.2        Nilai Tambah Ekonomi (EVA)
Jika MVA mengukur efek dari tindakan-tindakan manajerial dari sejak awal didirikannya oerusahaan, maka Nilai Tambah Ekonomi (EVA) menempatkan fokusnya pada keefektifan manajerial dalam suatu tahun tertentu.
ü  Menurut Iramani & Febrian (2005), EVA adalah metode manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta manakala perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi dan biaya modal.
ü  Menurut Warsono (2001: 46), EVA adalah perbedaan antara laba operasi setelah pajak dengan biaya modalnya. EVA merupakan suatu estimasi laba estimasi laba ekonomis yang benar atas suatu bisnis selama tahun tertentu.
ü  Menurut Tandelilin (2001: 195), EVA adalah ukuran keberhasilan manajemen perusahaan dalam meningkatkan nilai tambah (value added) bagi perusahaan. Asumsinya adalah bahwa jika kinerja manajemen baik/ efektif (dilihat dari besarnya nilai tambah yang diberikan), maka akan tercermin pada peningkatan harga saham perusahaan.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Economic Value Added (EVA) merupakan keuntungan operasional setelah pajak, dikurangi biaya modal yang digunakan untuk menilai kinerja perusahaan dengan memperhatikan secara adil harapan-harapan para pemegang saham dan kreditur.
2.3.3        Tujuan dan Perhitungan Economic Value Added (EVA)
EVA memberikan pengukuran yang lebih baik atas nilai tambah yang diberikan perusahaan kepada pemegang saham. Oleh karena itu manajer yang menitikberatkan pada EVA dapat diartikan telah beroperasi pada cara-cara yang konsisten untukm memaksimalkan kemakmuran pemegang saham.
Menurut S. David Young dan Stephen F. Obyrne (2001: 32), dalam pengukuran kinerja EVA dapat dihitung sebagai berikut:
Penjualan Bersih                                                                           xxx
Biaya operasi                                                                                 xxx     -
Laba operasi sebelum pajak (EBIT)                                              xxx
Pajak                                                                                             xxx     -
Laba operasi bersih sesudah pajak (NOPAT)                               xxx
Biaya modal (modal yang diinvestasikan x biaya modal)            xxx     -
EVA                                                                                              xxx

Perhitungan Economic Value Added (EVA) yang diharapkan dapat mendukung penyajian laporan keuangan sehingga akan mempermudah para pemekai laporan keuangan diantaranya para investor, kreditur, karyawan, pelanggan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur EVA, tergantung dari struktur modal dari perusahaan. Apabila dalam struktur modalnya perusahaan hanya menggunakan modal sendiri.
Menurut Tandelilin (2001: 196), rumus yang digunakan dalam perhitungan EVA adalah sebagai berikut:
EVA = Laba bersih operasi setelah dikurangi pajak – besarnya biaya modal operasi dalam rupiah setelah dikurangi pajak.
EVA = [EBIT (1 – Pajak)] – [(Modal Operasi) (Presentase biaya modal setelah pajak)]
Menurut Iramani & Febrian (2005), secara sederhana EVA dirumuskan sebagai berikut:
EVA = Net Operating Profit After Tax (NOPAT) – Cost of Capital (COC)
EVA = NOPAT – COC
Keterangan:
NOPAT = EBIT – Beban Pajak
COC = Biaya Modal
EBIT = Laba operasi sebelum pajak
Namun, manakala dalam struktur perusahaan terdiri dati hutang dan modal sendiri, secara sistematis EVA dapat dirumuskan sebagai berikut:
EVA= NOPAT – (WACC x TA)
Keterangan:
NOPAT = Laba bersih operasi setelah pajak
WACC = Biaya modal rata-rata tertimbang (Weighted Average Cost of Capital)
TA = Total modal (Total Asset)
Dari perhitungan akan diperoleh kesimpulan dengan interprestasi sebagai berikut:
Jika EVA > 0, hal ini menunjukan terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan.
Jika EVA < 0, hal ini menunjukan tidak terjadi nilai tambah ekonomis bagi perusahaan.
Jika EVA = 0, hal ini menunjukan posisi “impas” karena laba telah digunakan untuk membayar kewajiban kepada penyandang dana baik kreditur maupun pemegang saham.
2.3.4        Hubungan antara EVA dan MVA:
Jika sebuah perusahaan memiliki sejarah nilai-nilai EVA yang negatif, maka nilai MVA-nya kemungkinan juga negatif, begitu pula jika terdapat sejarah nilai-nilai EVA yang positif. Namun begitu, harga saham, yang merupakan unsur utama dalam perhitungan MVA, lebih tergantung kepada ekspektasi kinerja dimasa mendatang daripada suatu kinerja historis. Oleh sebab itu, sebuah perusahaan dengan sejarah nilai EVA yang negatif dapat saja memiliki nilai MVA yang positif, asalkan para investornya mengharapkan terjadinya suatu perubahan arah dimasa mendatang.
Pengamatan kedua bahwa ketika EVA dan MVA digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial sebagian bagian dari program insentif, EVA adalah ukuran umum yang digunakan.
Alasannya:
1. EVA menunjukan nilai tambah yang terjadi selama suatu tahun tertentu, sedangkan MVA mencerminkan kinerja perusahaan sepanjang hidupnya.
2. EVA dapat diterpkan di masing-masing divisi atau unit-unit yang lain dari perusahaan besar, sedangakan MVA harus diterapkan untuk perusahaan secara keseluruhan.
2.4  Model Nilai Perusahaan (Corporate Value Model )
2.4.1        Pengertian Corporate Value (CV) :
            Corporate Value (CV) atau biasa diistilahkan sebagai Nilai Perusahaan, biasa diartikan sebagai persepsi investor terhadap sebuah perusahaan, yang biasanya dikaitkan dengan harga saham (terutama yang sudah go public). Dimana biasanya harga saham yang tinggi, akan membuat nilai perusahaan juga tinggi.
            Corporate Value, biasa diindikasikan dengan price to book value. Price to book value yang tinggi akan membuat pasar percaya atas prospek perusahaan ke depan. Inilah sebenarnya yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan, sebab dengan tingginya nilai saham, maka itu berarti akan semakin menjadikan pemilik/pemegang saham perusahaan menjadi makmur. price to book value sendiri berarti perbandingan antara harga saham dengan nilai buku per saham.


2.4.2        Faktor yang Mempengaruhi Nilai Perusahaan:

Indikator- indikator yang mempengaruhi nilai perusahaan diantaranya adalah:
1.   PER (Price Earning Ratio)
      PER yaitu rasio yang mengukur seberapa besar perbandingan antara harga saham perusahaan dengan keuntungan yang diperoleh para pemegang saham. Mohammad Usman, (2001) dalam Malla Bahagia, (2008).

      Rumus yang digunakan adalah :

                                          Harga Pasar Saham
                        PER = -----------------------------------
                                          Laba Per Lembar Saham

Faktor-faktor yang mempengaruhi PER adalah :
a. Tingkat pertumbuhan laba
b. Dividend Payout Ratio
c. Tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh pemodal.

               Menurut Basuki Yusuf, 2005  dalam Malla Bahagia, 2008, hubungan faktor-faktor tersebut terhadap PER dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.   Semakin tinggi Pertumbuhan laba semakin tinggi PER nya, dengan kata lain hubungan antara pertumbuhan laba dengan PER nya bersifat positif. Hal ini dikarenakan bahwa prospek perusahaan dimasa yang akan datang dilihat dari pertumbuhan laba, dengan laba perusahaan yang tinggi menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola biaya yang dikeluarkan secara efisien.
b.   Semakin tinggi  Dividend Payout Ratio (DPR), semakin tinggi PER nya. DPR memiliki hubungan positif dengan PER, dimana DPR menentukan besarnya dividen yang diterima oleh pemilik saham dan besarnya dividen ini secara positif dapat mempengaruhi harga saham terutama pada pasar modal didominasi yang mempunyai strategi mangejar dividen sebagai target utama, maka semakin tinggi dividen semakin tinggi PER.
c.   Semakin tinggi  required rate of return (r) semakin rendah PER,  merupakan tingkat keuntungan yang dianggap layak bagi investasi saham, atau disebut juga sebagai tingkat keuntungan yang disyaratkan.

2.4.3        PBV (Price Book Value)
               Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh (Brigham, 1999: 92)., yang diproksikan dengan :
Price book value =
                                                                    Nilai Pasar
                              Price book value =----------------------
                                                                 Harga Saham


2.4.4        Value-Based Management (VBM):

            Value-based management (VBM) adalah suatu pendekatan manajerial yang tujuan utamanya adalah memaksimumkan nilai atau kekayaan jangka panjang para pemegang saham. Nilai atau kekayaan untuk pemegang saham tersebut akan tercipta apabila perusahaan mampu menghasilkan arus kas bersih (free cash flow) di atas biaya modalnya. Meskipun kunci utama keberhasilan penerapan VBM adalah adanya komitmen dari seluruh jajaran manajemen - khususnya adalah manajemen puncak, namun faktor lainnya yang tidak kalah penting adalah pemahaman konseptual dan penguasaan teknis aspek-aspek keuangan dari penerapan VBM :
  • Memberikan pemahaman tentang pentingnya VBM dalam upaya meningkatkan nilai untuk pemegang saham
  • Menambah wawasan tentang keterkaitan yang erat antara VBM, strategi perusahaan dan penciptaan nilai pemegang saham
  • Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kemahiran praktis di dalam menerapkan konsep-konsep mau pun teknik-teknik keuangan yang relevan dengan pendekatan VBM
  • Membantu meningkatkan kemampuan di dalam mengintegrasikan konsep-konsep keuangan dengan proses-proses bisnis lainnya untuk menjamin keberhasilan penerapan VBM

2.5  Operating dan Financial Leverage
2.5.1        Leverage

Penggunaan sumber-sumber pembiayaan perusahaan, baik yang merupakan sumber pembiayaan jangka pendek maupun sumber pembiayaan jangka panjang akan menimbulkan suatu efek yang biasa disebut dengan leverage. Gibson (1990) menyatakan bahwa “the use of debt, called leverage,can greatly affect the level and degree of change is the common earning”,artinya penggunaan hutang, disebut penggungkit, sangat dapat memengaruhi tingkat derajat dan tingkat perubahaan pendapatan saham. Selain itu, Schall dan Harley (1992) mendefinisikan leverage sebagai “the degree of firm
borrowing”, artinya leverage sebagai tingkat pinjaman perusahaan.
Berdasarkan pada pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan leverage adalah suatu tingkatkemampuan perusahaan dalam menggunakan aktiva dan atau dana yang mempunyai beban tetap (hutang dan atau saham istimewa) dalam rangka mewujudkan tujuan perusahaan untuk memaksimisasi kekayaan pemilik perusahaan. Permasalahan leverage akan selalu dihadapi oleh perusahaan, bila perusahaan tersebut menanggung sejumlah beban atau biaya, baik biaya tetap operasi maupun biaya finansial. Biaya tetap operasi merupakan beban atau biaya tetap yang harus diperhitungkan sebagai akibat dari fungsi pelaksanaan investasi, sedangkan biaya finansial merupakan beban atau biaya yang harus diperhitungkan sebagai akibat dari pelaksanaan fungsi pendanaan. Jadi, beban atau biaya tetap sebenarnya merupakan risiko yang harus ditanggung perusahaan dalam pelaksanaan keputusan-keputusan keuangan. Besar kecilnya risiko tersebut perlu diketahui agar dapat diantisipasi dengan meningkatkan volume kegiatan usaha.
2.5.2        Leverage Operasi
Leverage operasi (operating leverage) timbul sebagai suatu akibat dari adanya beban-beban tetap yang ditanggung dalam operasional perusahaan. Beban-beban tetap operasional tersebut misalnya biaya depresiasi / penyusutan atas aktiva tetap yang dimilikinya.
ü  Keown, Seall, Martin, dan William Patty (2000) mengemukakan pengertian leverage operasi (operating leverage) adalah “company defrayal remain in the current of company earning”, artinya pembiayaan tetap perusahaan didalam arus pendapatan perusahaan. Sedangkan
ü  Sartono (2001) menyebutkan leverage operasi timbul karena perusahaan memiliki biaya operasi tetap.
Leverage operasi adalah pengaruh biaya tetap operasional terhadap kemampuan perusahaan untuk menutup biaya tersebut. Dengan kata lain pengaruh perubahan volume penjualan (Q) terhadap labasebelum bunga dan pajak (EBIT). Besar kecilnya leverage operasi dihitung dengan DOL (Degree of operating leverage) (Sartono , 1997).
DOL =
Analisis leverage operasi dimaksudkan untuk mengetahui seberapa peka laba operasi terhadap perubahan hasil penjualan dan berapa penjualan minimal yang harus diperoleh agar perusahaan tidak menderita kerugian.

2.5.3        Leverage Finansial

ü  Pengertian financial leverage (leverage keuangan) menurut Keown, Seall, Martin, dan Patty (2000) adalah : “Pembiayaan sebagian dari aset perusahan dengan surat berharga yang mempunyai tingkat bunga yang tetap (terbatas) dengan mengharapkan peningkatan yang luar biasa pada pendanaan bagi pemegang saham”.

Dilihat dari pengertian di atas leverage keuangan dimiliki perusahaan karena adanya penggunaan modal dana yang memiliki beban tetap dalam pembiayaan perusahaan.
Besar kecilnya leverage finansial dihitung dengan DFL (Degree of financial leverage). DFL menunjukkan seberapa jauh perubahan EPS karena perubahan tertentu dari EBIT. Makin besar DFL nya, maka makin besar risiko finansial perusahaan tersebut. Dan perusahaan yang
mempunyai DFL yang tinggi adalah perusahaan yang mempunyai utang dalam proporsi yang lebih besar (Sartono, 1997).


DFL =

Risiko finansial adalah tambahan risiko yang dibebankan kepada para pemegang saham biasa sebagai hasil dari keputusan untuk mendapatkan pendanaan melalui utang. Pemegang saham akan menghadapi risiko bisnis yaitu ketidakpastian yang inheren pada proyeksi laba operasi masa depan. Jika perusahaan menggunakan utang, maka hal ini akan mengonsentrasikan risiko bisnis pada pemegang saham biasa.
Konsentrasi risiko bisnis ini terjadi karena para pemegang saham yang menerima pembayaran bunga secara tetap, sama sekali tidak menanggung risiko bisnis. Pada penelitian terdahulu telah dibuktikan bahwa penggunaan utang ternyata menjadi bermanfaat karena dapat mengurangi besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan. Penggunaan utang tidak selamanya merugikan perusahaan maupun pemegang saham selama
proporsinya tidak melebihi batas tertentu.