BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Aset dan Kapital Operasional
2.1.1
Harta Aktiva (Asset)
Asset adalah harta yg dimiliki perusahaan yg berperan dalam operasi
perusahaan misal kas persediaan aktiva tetap
aktiva yg tak terwujud dan lain-lain.
ü Menurut
Accounting Principal Board (APB)
Statement (1970:132) dikemukakan bahwa :
“Asset adalah kekayaan ekonomi perusahaan termasuk didalam pembebanan yg ditunda yg dinilai dan diakui sesuai prinsip akuntansi yg berlaku.”
“Asset adalah kekayaan ekonomi perusahaan termasuk didalam pembebanan yg ditunda yg dinilai dan diakui sesuai prinsip akuntansi yg berlaku.”
ü Selanjut
Financial Accounting Standard Board
(FASB) (1985) memberikan definisi asset sebagai berikut :
“Asset adl kemungkinan
keuntungan ekonomi yg diperoleh atau dikuasai di masa yg akan datang oleh lembaga tertentu
sebagai akibat transaksi atau kejadian yg lalu.”
ü
Menurut Harnanto (1991:357) bagi manajemen
operating investment (assets) meliputi seluruh
mesin dan alat-alat pabrik dan lain-lain equipmen serta modal kerja yg
ditempatkan utk dikelola atau dioperasikan dalam usaha perusahaan utk
menghasilkan laba.
Berdasarkan definisi tersebut di atas maka dapat
dikatakan bahwa sesuatu dianggap sebagai asset jika di masa yg akan datang
dapat diharapkan memberikan net cash inflow yg
positif kepada perusahaan.
2.1.2
Kapital Operasional
Kapital/ Modal operasional
adalah modal yang harus Anda keluarkan untuk membayar biaya operasi bulanan
dari bisnis. Contohnya pembayaran gaji pegawai, pulsa telepon bulanan, PLN,
air, bahkan retribusi.
Pos-pos dalam modal operasional ini pada setiap
bisnis umumnya hampir sama. Ini karena pada prinsipnya, yang dimaksud dengan
modal operasional adalah uang yang harus dikeluarkan untuk membayar pos-pos
biaya di luar bisnis secara langsung. Jadi, Kapital/modal Operasional ini
biasanya dibayar secara bulanan.
2.2 Aliran Kas Bebas
Arus Kas
Bebas (Free Cash Flow) adalah sisa
perhitungan arus kas yang dihasilkan oleh suatu perusahaan di akhir suatu
periode keuangan (kuartalan atau tahunan)—setelah membayar gaji, biaya
produksi, tagihan, cicilan hutang berikut bunganya, pajak, dan juga belanja
modal (capital expenditure) untuk
pengembangan usaha. Sisa uang inilah yang disebut Arus Kas Bebas. Meski
dinamankan bebas tapi manajemen tidak bisa
sebebasnya menggunakan uang ini karena uang sisa inilah yang bisa digunakan
untuk mengembangkan usaha, kalau tidak mengambil dana dari hutang dan sumber
dana lainnya.
Free Cash Flow bagi perusahaan
merupakan gambaran dari arus kas yang tersedia untuk perusahaan dalam
suatu periode akuntansi, setelah dikurangi dengan biaya operasional dan
pengeluaran lainnya.
2.2.1
Penghitungan Arus Kas Bebas
Rumus singkat (dan yang paling mudah) untuk menghitung Arus Kas Bebas
adalah berikut:FCF (Arus Kas Bebas) = Arus Kas dari Operasi – Belanja Modal
Atau
FCF = Pendapatan bersih + Depresiasi (Amortisasi) – Perubahan Working Capital (ΔWC) – Pengeluaran modal.
Misalnya:
Arus kas dari operasional untuk PT A pada tahun 2004 adalah $1.050.000. Pengeluaran modal pada tahun tersebut adalah $700.000. Berapakah arus kas bebas PT A tersebut?
FCF = Arus kas dari operasional – Pengeluaran Modal
FCF = $1.050.000 – $700.000
FCF = $350.000
Jika free cash flow dari perusahaan adalah positif (FCF ≥ 0) maka keuangan perusahaan dalam kondisi yang baik. Jika Free cash flow perusahaan adalah negative (FCF ≤ 0) dan perusahaan harus mengeluarkan saham untuk menambah modal, hal ini akan mengakibatkan berkurangnya keuntungan per saham dari perusahaan tersebut.
Free cash flow merupakan salah satu indicator untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk mengembalikan keuntungan bagi para pemegang saham melalui pengurangan hutang, peningkatan dividen atau pembelian saham kembali
2.3 MVA dan EVA
2.3.1
Nilai
tambah pasar (MVA)
Sasaran utama dari kebanyakan prusahaan adalah untuk memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Sasaran ini sudah pasti akan menguntungkan pemegang saham, tetepi juga akan membantu untuk memastikan bahwa sumber daya yang terbatas telah dialokasikan secara efisien, yang akan memberikan keuntungan pada ekonomi. Kekayaan pemegang saham akan dimaksimalkan dengan meminimalkan perbedaan antara nilai pasar dari saham perusahaan dan jumlah modal ekuitas yang telah diberikan oleh pemegang saham. Perbedaan ini disebut sebagai Nilai Tambah Pasar MVA.
MVA = Nilai Pasar dari Saham – Ekuitas modal yang diberikan oleh pemegang saham
MVA = (saham beredar)(harga saham) – Total ekuitas saham biasa
Sebagai gambaran, lihat perusahaan contoh kita, Allied Food Products. Pada tahun 2002, total nilai ekuitas pasarnya adalah sebesar $1.150 juta, sedangkan neracanya menunjukkan bahwa saham telah menyetorkan $896 juta. Jadi, MVA Allied adalah sebesar $1.150 - $896 = $254 juta. Jumlah $254 juta ini mencerminkan perbedaan antara uang yang telah diinvestasikan oleh para pemegang saham Allied di dalam perusahaan sejak pendiriannya-termasuk juga laba ditahan –versus kas yang dapat mereka peroleh jika mereka menjual bisnis ini. Semakin tinggi MVA, semakin baik pekerjaan yang telah dilakukan oleh para manajer bagi pemegang saham perusahaan.
2.3.2
Nilai
Tambah Ekonomi (EVA)
Jika MVA mengukur efek dari
tindakan-tindakan manajerial dari sejak awal didirikannya oerusahaan, maka
Nilai Tambah Ekonomi (EVA) menempatkan fokusnya pada keefektifan manajerial
dalam suatu tahun tertentu.
ü Menurut
Iramani & Febrian (2005), EVA adalah metode manajemen keuangan untuk
mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang menyatakan bahwa
kesejahteraan hanya dapat tercipta manakala perusahaan mampu memenuhi semua
biaya operasi dan biaya modal.
ü Menurut
Warsono (2001: 46), EVA adalah perbedaan antara laba operasi setelah pajak
dengan biaya modalnya. EVA merupakan suatu estimasi laba estimasi laba ekonomis
yang benar atas suatu bisnis selama tahun tertentu.
ü Menurut
Tandelilin (2001: 195), EVA adalah ukuran keberhasilan manajemen perusahaan
dalam meningkatkan nilai tambah (value added) bagi perusahaan. Asumsinya adalah
bahwa jika kinerja manajemen baik/ efektif (dilihat dari besarnya nilai tambah
yang diberikan), maka akan tercermin pada peningkatan harga saham perusahaan.
Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Economic Value Added (EVA)
merupakan keuntungan operasional setelah pajak, dikurangi biaya modal yang
digunakan untuk menilai kinerja perusahaan dengan memperhatikan secara adil
harapan-harapan para pemegang saham dan kreditur.
2.3.3
Tujuan dan Perhitungan Economic Value Added (EVA)
EVA memberikan pengukuran yang lebih baik atas nilai tambah yang diberikan
perusahaan kepada pemegang saham. Oleh karena itu manajer yang menitikberatkan
pada EVA dapat diartikan telah beroperasi pada cara-cara yang konsisten untukm
memaksimalkan kemakmuran pemegang saham.Menurut S. David Young dan Stephen F. Obyrne (2001: 32), dalam pengukuran kinerja EVA dapat dihitung sebagai berikut:
Penjualan Bersih xxx
Biaya operasi xxx -
Laba operasi sebelum pajak (EBIT) xxx
Pajak xxx -
Laba operasi bersih sesudah pajak (NOPAT) xxx
Biaya modal (modal yang diinvestasikan x biaya modal) xxx -
EVA xxx
Perhitungan Economic Value Added (EVA) yang diharapkan dapat mendukung penyajian laporan keuangan sehingga akan mempermudah para pemekai laporan keuangan diantaranya para investor, kreditur, karyawan, pelanggan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur EVA, tergantung dari struktur modal dari perusahaan. Apabila dalam struktur modalnya perusahaan hanya menggunakan modal sendiri.
Menurut Tandelilin (2001: 196), rumus yang
digunakan dalam perhitungan EVA adalah sebagai berikut:
EVA = Laba bersih operasi setelah dikurangi pajak –
besarnya biaya modal operasi dalam rupiah setelah dikurangi pajak.
EVA = [EBIT (1 – Pajak)] – [(Modal Operasi)
(Presentase biaya modal setelah pajak)]
Menurut Iramani & Febrian (2005), secara
sederhana EVA dirumuskan sebagai berikut:
EVA = Net Operating Profit After Tax (NOPAT) – Cost
of Capital (COC)
EVA = NOPAT – COC
Keterangan:
NOPAT = EBIT – Beban Pajak
COC = Biaya Modal
EBIT = Laba operasi sebelum pajak
Namun, manakala dalam struktur perusahaan terdiri
dati hutang dan modal sendiri, secara sistematis EVA dapat dirumuskan sebagai
berikut:
EVA= NOPAT – (WACC x TA)
Keterangan:
NOPAT = Laba bersih operasi setelah pajak
WACC = Biaya modal rata-rata tertimbang (Weighted
Average Cost of Capital)
TA = Total modal (Total Asset)
Dari perhitungan akan diperoleh kesimpulan dengan
interprestasi sebagai berikut:
Jika EVA > 0, hal ini menunjukan terjadi nilai
tambah ekonomis bagi perusahaan.
Jika EVA < 0, hal ini menunjukan tidak terjadi
nilai tambah ekonomis bagi perusahaan.
Jika EVA = 0, hal ini menunjukan posisi “impas”
karena laba telah digunakan untuk membayar kewajiban kepada penyandang dana baik
kreditur maupun pemegang saham.
2.3.4
Hubungan
antara EVA dan MVA:
Jika sebuah perusahaan memiliki sejarah nilai-nilai EVA yang
negatif, maka nilai MVA-nya kemungkinan juga negatif, begitu pula jika terdapat
sejarah nilai-nilai EVA yang positif. Namun begitu, harga saham, yang merupakan
unsur utama dalam perhitungan MVA, lebih tergantung kepada ekspektasi kinerja
dimasa mendatang daripada suatu kinerja historis. Oleh sebab itu, sebuah
perusahaan dengan sejarah nilai EVA yang negatif dapat saja memiliki nilai MVA
yang positif, asalkan para investornya mengharapkan terjadinya suatu perubahan
arah dimasa mendatang.
Pengamatan kedua bahwa ketika EVA dan MVA digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial sebagian bagian dari program insentif, EVA adalah ukuran umum yang digunakan.
Alasannya:
1. EVA menunjukan nilai tambah yang terjadi selama suatu tahun tertentu, sedangkan MVA mencerminkan kinerja perusahaan sepanjang hidupnya.
2. EVA dapat diterpkan di masing-masing divisi atau unit-unit yang lain dari perusahaan besar, sedangakan MVA harus diterapkan untuk perusahaan secara keseluruhan.
Pengamatan kedua bahwa ketika EVA dan MVA digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial sebagian bagian dari program insentif, EVA adalah ukuran umum yang digunakan.
Alasannya:
1. EVA menunjukan nilai tambah yang terjadi selama suatu tahun tertentu, sedangkan MVA mencerminkan kinerja perusahaan sepanjang hidupnya.
2. EVA dapat diterpkan di masing-masing divisi atau unit-unit yang lain dari perusahaan besar, sedangakan MVA harus diterapkan untuk perusahaan secara keseluruhan.
2.4 Model
Nilai Perusahaan (Corporate Value Model )
2.4.1
Pengertian Corporate Value (CV) :
Corporate Value (CV) atau biasa diistilahkan sebagai Nilai Perusahaan, biasa
diartikan sebagai persepsi investor terhadap sebuah perusahaan, yang biasanya
dikaitkan dengan harga saham (terutama yang sudah go public). Dimana biasanya
harga saham yang tinggi, akan membuat nilai perusahaan juga tinggi.
Corporate Value, biasa diindikasikan dengan price to book value. Price to book
value yang tinggi akan membuat pasar percaya atas prospek perusahaan ke depan.
Inilah sebenarnya yang diinginkan oleh para pemilik perusahaan, sebab dengan
tingginya nilai saham, maka itu berarti akan semakin menjadikan
pemilik/pemegang saham perusahaan menjadi makmur. price to book value sendiri
berarti perbandingan antara harga saham dengan nilai buku per saham.
2.4.2
Faktor yang
Mempengaruhi Nilai Perusahaan:
Indikator- indikator yang mempengaruhi nilai
perusahaan diantaranya adalah:
1. PER (Price Earning
Ratio)
PER yaitu rasio yang mengukur seberapa besar perbandingan antara harga saham
perusahaan dengan keuntungan yang diperoleh para pemegang saham. Mohammad
Usman, (2001) dalam Malla Bahagia, (2008).
Rumus yang digunakan adalah :
Harga Pasar Saham
PER = -----------------------------------
Laba Per Lembar Saham
Faktor-faktor yang mempengaruhi PER adalah :
a. Tingkat
pertumbuhan laba
b. Dividend
Payout Ratio
c. Tingkat
keuntungan yang disyaratkan oleh pemodal.
Menurut Basuki Yusuf, 2005 dalam Malla Bahagia, 2008, hubungan
faktor-faktor tersebut terhadap PER dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Semakin tinggi
Pertumbuhan laba semakin tinggi PER nya, dengan kata lain hubungan antara
pertumbuhan laba dengan PER nya bersifat positif. Hal ini dikarenakan bahwa
prospek perusahaan dimasa yang akan datang dilihat dari pertumbuhan laba, dengan
laba perusahaan yang tinggi menunjukkan kemampuan perusahaan dalam mengelola
biaya yang dikeluarkan secara efisien.
b. Semakin tinggi Dividend Payout Ratio
(DPR), semakin tinggi PER nya. DPR memiliki hubungan positif dengan PER, dimana
DPR menentukan besarnya dividen yang diterima oleh pemilik saham dan besarnya
dividen ini secara positif dapat mempengaruhi harga saham terutama pada pasar
modal didominasi yang mempunyai strategi mangejar dividen sebagai target utama,
maka semakin tinggi dividen semakin tinggi PER.
c. Semakin tinggi required rate of return
(r) semakin rendah PER, merupakan tingkat keuntungan yang dianggap layak
bagi investasi saham, atau disebut juga sebagai tingkat keuntungan yang
disyaratkan.
2.4.3
PBV (Price Book Value)
Rasio ini mengukur nilai yang diberikan pasar keuangan kepada manajemen dan
organisasi perusahaan sebagai sebuah perusahaan yang terus tumbuh (Brigham,
1999: 92)., yang diproksikan dengan :
Price book value =
Nilai Pasar
Price book value =----------------------
Harga Saham
2.4.4
Value-Based Management (VBM):
Value-based
management (VBM) adalah suatu pendekatan manajerial yang tujuan utamanya adalah
memaksimumkan nilai atau kekayaan jangka panjang para pemegang saham. Nilai
atau kekayaan untuk pemegang saham tersebut akan tercipta apabila perusahaan
mampu menghasilkan arus kas bersih (free cash flow) di atas biaya
modalnya. Meskipun kunci utama keberhasilan penerapan VBM adalah adanya
komitmen dari seluruh jajaran manajemen - khususnya adalah manajemen puncak,
namun faktor lainnya yang tidak kalah penting adalah pemahaman
konseptual dan penguasaan teknis aspek-aspek keuangan dari penerapan VBM :
- Memberikan pemahaman tentang pentingnya VBM dalam upaya meningkatkan nilai untuk pemegang saham
- Menambah wawasan tentang keterkaitan yang erat antara VBM, strategi perusahaan dan penciptaan nilai pemegang saham
- Meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kemahiran praktis di dalam menerapkan konsep-konsep mau pun teknik-teknik keuangan yang relevan dengan pendekatan VBM
- Membantu meningkatkan kemampuan di dalam mengintegrasikan konsep-konsep keuangan dengan proses-proses bisnis lainnya untuk menjamin keberhasilan penerapan VBM
2.5 Operating
dan Financial Leverage
2.5.1
Leverage
Penggunaan
sumber-sumber pembiayaan perusahaan, baik yang merupakan sumber pembiayaan
jangka pendek maupun sumber pembiayaan jangka panjang akan menimbulkan suatu
efek yang biasa disebut dengan leverage. Gibson (1990) menyatakan bahwa “the
use of debt, called leverage,can greatly affect the level and degree of change
is the common earning”,artinya penggunaan hutang, disebut penggungkit, sangat
dapat memengaruhi tingkat derajat dan tingkat perubahaan pendapatan saham.
Selain itu, Schall dan Harley (1992) mendefinisikan leverage sebagai “the
degree of firm
borrowing”,
artinya leverage sebagai tingkat pinjaman perusahaan.
Berdasarkan
pada pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan leverage adalah suatu
tingkatkemampuan perusahaan dalam menggunakan aktiva dan atau dana yang mempunyai
beban tetap (hutang dan atau saham istimewa) dalam rangka mewujudkan tujuan
perusahaan untuk memaksimisasi kekayaan pemilik perusahaan. Permasalahan
leverage akan selalu dihadapi oleh perusahaan, bila perusahaan tersebut
menanggung sejumlah beban atau biaya, baik biaya tetap operasi maupun biaya
finansial. Biaya tetap operasi merupakan beban atau biaya tetap yang harus
diperhitungkan sebagai akibat dari fungsi pelaksanaan investasi, sedangkan
biaya finansial merupakan beban atau biaya yang harus diperhitungkan sebagai
akibat dari pelaksanaan fungsi pendanaan. Jadi, beban atau biaya tetap
sebenarnya merupakan risiko yang harus ditanggung perusahaan dalam pelaksanaan
keputusan-keputusan keuangan. Besar kecilnya risiko tersebut perlu diketahui
agar dapat diantisipasi dengan meningkatkan volume kegiatan usaha.
2.5.2
Leverage
Operasi
Leverage
operasi (operating leverage) timbul sebagai suatu akibat dari adanya
beban-beban tetap yang ditanggung dalam operasional perusahaan. Beban-beban
tetap operasional tersebut misalnya biaya depresiasi / penyusutan atas aktiva
tetap yang dimilikinya.
ü
Keown,
Seall, Martin, dan William Patty (2000) mengemukakan pengertian leverage operasi
(operating leverage) adalah “company defrayal remain in the current of company
earning”, artinya pembiayaan tetap perusahaan didalam arus pendapatan perusahaan.
Sedangkan
ü
Sartono
(2001) menyebutkan leverage operasi timbul karena perusahaan
memiliki biaya operasi tetap.
Leverage operasi adalah pengaruh biaya tetap
operasional terhadap kemampuan perusahaan untuk menutup biaya tersebut. Dengan kata
lain pengaruh perubahan volume penjualan (Q) terhadap labasebelum bunga dan
pajak (EBIT). Besar kecilnya leverage operasi dihitung
dengan DOL (Degree of operating leverage) (Sartono , 1997).
DOL = 

Analisis
leverage
operasi dimaksudkan untuk mengetahui seberapa
peka laba operasi terhadap perubahan hasil penjualan dan berapa penjualan
minimal yang harus diperoleh agar perusahaan tidak menderita kerugian.
2.5.3
Leverage Finansial
ü Pengertian financial
leverage (leverage
keuangan) menurut Keown, Seall, Martin,
dan Patty (2000) adalah : “Pembiayaan sebagian dari aset perusahan dengan surat
berharga yang mempunyai tingkat bunga yang tetap (terbatas) dengan mengharapkan
peningkatan yang luar biasa pada pendanaan bagi pemegang saham”.
Dilihat dari pengertian di atas leverage
keuangan dimiliki perusahaan karena
adanya penggunaan modal dana yang memiliki beban tetap dalam pembiayaan
perusahaan.
Besar
kecilnya leverage finansial dihitung dengan DFL (Degree
of financial leverage).
DFL menunjukkan seberapa jauh perubahan EPS karena perubahan tertentu dari EBIT.
Makin besar DFL nya, maka makin besar risiko finansial perusahaan
tersebut. Dan perusahaan yang
mempunyai
DFL yang tinggi adalah perusahaan yang mempunyai utang dalam proporsi yang
lebih besar (Sartono, 1997).
DFL
=

Risiko finansial adalah tambahan risiko yang dibebankan
kepada para pemegang saham biasa sebagai hasil dari keputusan untuk mendapatkan
pendanaan melalui utang. Pemegang saham akan menghadapi risiko bisnis yaitu
ketidakpastian yang inheren pada proyeksi laba operasi masa depan. Jika
perusahaan menggunakan utang, maka hal ini akan mengonsentrasikan risiko bisnis
pada pemegang saham biasa.
Konsentrasi
risiko bisnis ini terjadi karena para pemegang saham yang menerima pembayaran
bunga secara tetap, sama sekali tidak menanggung risiko bisnis. Pada penelitian
terdahulu telah dibuktikan bahwa penggunaan utang ternyata menjadi bermanfaat
karena dapat mengurangi besarnya pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan.
Penggunaan utang tidak selamanya merugikan perusahaan maupun pemegang saham
selama
proporsinya
tidak melebihi batas tertentu.